Minggu, 12 Juli 2009

ADA KALANYA CINTA TAK TERBALAS


LIburan akhir semester ini telah datang. Golly dan teman-temannya akan merayakan liburan di villa milik ayah Harun. Agar liburan mereka tak membosankan, mereka pun mengajak Pidi, Rinda, dan Medi. Ada satu lagi sahabat Golly dan Harun yang akan ikut, yakni Demo. Anak yang sebenarnya menjadi pujaan setiap cewek di sekolah. Banyak cewek yang mengelu-elukannya tapi dia hanya diam dan tak sedikit pun mau menanggapi ulah cewek-cewek di sekolah. Pernah suatu ketika ada anak cewek yang saking senengnya sama Demo rela naik tower sekolah dan ngancem pingin bunuh diri lantaran tuh cewek cintanya ditolak Demo. Tapi Demo menanggapi hal ini dengan statement yang dingin. Dia berkata bahwa cinta tak membutuhkan hal-hal bodoh untuk dibuktikan. Demo adalah pribadi yang pendiam dan setia kawan. Dia pun pandai dalam menghadapi segala masalah. Dan dia tampan, tak ada alasan jika tak ada cewek yang tak suka padanya.
Liburan akhir semester sekaligus liburan kenaikan kelas akan sangat berharga sekali untuk Golly karena apa, karena dia merasa akan mendapatkan tambatan hatinya. Sejak duduk di kelas satu SMA Golly yang memimpikan sosok putri istana bermahkotakan pesona yang cantik nan jelita tak henti-hentinya mengharapkan Rinda. Kuncup bunga harapan Golly pun semakin mekar karena akhir-akhir ini Rinda mendekati Golly. Menanyakan keadaan Golly setiap saat dan akhir-akhir ini mereka sering pergi berdua untuk hang-out. Seolah-olah panglima besar perang yang cerdik, Golly pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk menyatakan cintanya pada Rinda pada liburan mereka di villa. Harun yang menjadi ketua panitia liburan, hanya mengikuti rencana Golly. Karena rencana liburan di villa ini pun adalah proyek cinta jangka panjang Golly. Golly pun meminta Harun untuk tak menceritakan hal ini pada siapa pun termasuk Demo,sahabat mereka sendiri.
Angin puncak yang syahdu menggoyangkan setiap dahan dan ranting setiap pohon. Tak ada yang protes pada angin puncak, karena itu sudah tugasnya untuk membuat suasana menjadi beda dari suasana di tempat lain. Suara jangkrik bersahutan mewarnai malam, seolah ingin menghibur penghuni baru sebuah villa yang ramai dengan canda tawa yang tiada hentinya. Belalang dan binatang malam lainnya di tempat itu pun ikut tersenyum. Tak boleh ada yang sedih. Harun yang dari tadi menceritakan kepada teman-temannya mengenai semua kejadian konyol yang pernah terjadi di villanya itu membuat teman-temannya tak berhenti tertawa. Dimulai dari adiknya yang kedinginan saat mandi karena belum mengetahui kalau air di puncak itu dingin kemudian mengenai kakeknya yang tak tahan udara dingin dan malah sakit-sakitan sepanjang liburan. Kejadian itu semua terjadi saat Harun dan keluarganya baru pertama kali menjajaki villa ini. Tawa pun meledak di ruangan itu. Tawa dan senyum manis di bibir Rinda pun dapat dirasakan Golly. Baginya, senyum Rinda telah menusuk setiap dinding pembuluh darah dan tak kan pernah dia biarkan berlalu begitu saja. Hari itu adalah hari pertama mereka merasakan dinginnya malam di puncak. Malam mengiringi kebahagiaan mereka dan setia menemani hingga larut.
Pagi menyapa enam pemuda pemudi yang ada di villa. Apalah artinya pagi jika tak ada yang menghiburnya dengan senyum, memberikan semangat untuknya agar tetap menyongsong mentari. Lagi-lagi Rinda yang menebarkan senyum. Mengawali hari kedua liburan mereka dengan semangat. Golly, Harun, Demo, Pidi, Medi, dan Rinda bersiap untuk bersepeda ria mengitari komplek villa di daerah puncak. Tak ada hal yang paling indah di dunia ini kecuali ciptaan-ciptaan Tuhan, kebesaran-kebesaran, dan karunia-Nya. Sungguh takjub melihat hijaunya pepohonan yang seolah-olah saling bergandengan satu sama lain. Embun menetes dari daun bergantian. Kicau burungmendendangkan lirik-lirik lagu layaknya panggung orkestra yang megah. Itulah aroma pagi yang khas dan unik. Sajian berikutnya adalah pemandangan bukit dan lembah yang berkelok-kelok dipadu dengan sinar matahari yang teduh. Indonesialah yang mempunyai ini semua.
Ketika di perjalanan tiba-tiba sesuatu terjadi. Rinda yang saat itu tengah manikmati keindahan alam tiba-tiba lengah dan seketika itu ada batu kecil yang mengganggu laju alur dari roda sepeda milik Rinda. Rinda pun jatuh. Semua berhenti dan langsung menolongnya. Golly yang paling panik. Namun semua dapat ditenangkan Demo. Rinda tidak apa-apa, hanya saja kakinya terkilir. Untunglah mereka belum terlalu jauh dari villa. Rinda pun dipapah menuju villa oleh Demo dan dibantu Golly. Rinda saat itu amat kesakitan namun rasa sakit itu dapat lenyap seiring dengan sesuatu yang baru ia rasakan. Sesampainya di villa, segera saja Harun memeberi tahu pak Jan si penjaga villa untuk mencarikan tukang pijat. Rinda pun akhirnya dapat sedikit lebih baik berkat bantuan dari ibu tukang pijat. Hanya saja Rinda butuh istirahat untuk memulihkan kondisinya sekarang ini. Golly yang mencemaskan kondisi Rinda. Ia pun menemani Pidi dan Medi manjaga Rinda. Pidi mengerti betul apa yang sedang dirasakan oleh Golly. Setiap orang pasti akan cemas sekali jika orang yang dikasihi sedang terluka. Pidi pun mencoba menenangkan kagelisahan di hati Golly. Medi juga membantu Pidi menenangkan Golly.
Malam kembali menyapa menggantikan siang dan memang begitulah semestinya. Jika kemarin ada rasa bahagia yang menghiasi sepanjang malam kali ini tidak. Kebahagiaan itu sedikit surut karena adanya kejadian tadi pagi. Jangkrik dan belalang beserta bintang lainnya yang mananti adanya canda tawa tak kunjung datang. Semuanya berkumpul di gazebo di halam belakang villa. Meski suasana sedikit berbeda dari malam sebelumnya, tetapi Harun sebagai ketua panitia liburan tak ingin acara liburan yang ia adakan hancur sia-sia. Dia pun mencoba menghibur teman-temannya dengan lantunan-lantunan tembang syahdu meskipun suaranya di bawah rata-rata tapi harus diakui bahwa usahanya tak sia-sia. Pidi dan Medi pun ikut bernyanyi. Rinda pun ikut bernyanyi meski ia tengah dirundung musibah tapi karena melihat teman-temannya bahagia dia tak mau ketinggalan. Golly pun kini agak sedikit lega melihat adanya senyuman yang terpancar dari raut wajah Rinda. Kecemasannya sedikit demi sedikit lenyap. Rencananya untuk menyatakan isi hatinya pada Rinda pun mungkin dapat dilakukan tapi entah jadi atau tidak.
Ketika Harun selesai menyanyi tiba-tiba Rinda ingin berbicara tentang sesuatu yang sepertinya serius. Golly pun terkejut. Ada apakah gerangan. Semua mata tertuju pada Rinda. Rinda yang merasa sudah merenggut perhatian semua teman-temannya pun mulai menyatakan sesuatu. Sesuatu yang telah sekian lama ia pendam dan ia rahasiakan. Kini adalah saat yang tepat untuk meberitahukan pada semuanya bahwasannya Rinda selama ini telah memendam rasa pada Demo. Cowok paling tenar di sekolah itu memang telah menghancurkan konsentrasi Rinda selama ini. Semua yang menyebabkan Rinda mampu melupakan segala hal yang pahit dalam hidupnya adalah Demo. Ayah ibu Rinda telah bercerai dan tak lagi peduli kepadanya. Kehadiran Demo walau hanya sekejap akan sangat membahagiakan Rinda. Seketika itu juga hujan metor bertebaran di syaraf-syaraf yang terdapat di tubuh Golly. Semua organ inderanya tak berfungsi dan detak jantungnya sempat berhenti ketika mendengar itu semua. Lebih sakit daripada dihempas ombak badai dan lebih perih daripada dihunus panah. Bahkan setiap kata yang ada tak akan bisa menggambarkan bagaimana Susana hati Golly saat ini. Dia menyingkir dan berpura-pura ingin ke toilet. Pidi,Medi, dan Harun masih tercengang dengan hal yang baru saja terjadi. Sebuah pengakuan yang berani dan tak akan pernah bisa dipercaya. Tapi itu adalah hak Rinda. Dia juga seorang manusia yang ingin mencintai. Demo masih duduk di mulut gazebo dan terdiam. Dia pun tak mengira jika begini adanya.
Golly duduk merenung di teras lantai atas yang menghadap ke arah halaman depan villa. Dia yang berharap banyak dari Rinda kini harus menerima kenyatahan pahit. Kenyataan yang tak akan pernah bisa diubahnya. Semua harapan, angan-angan, dan ambisi yang ingin ia wujudkan kini harus ia kubur dalam-dalam. Keresahan yang ingin ia hapus ternyata malah terjadi. Rinda mendekati Golly hanya agar bisa lebih dekat pula dengan Demo. Golly masih menatap langit hitam tak berbintang. Namun malam berjanji akan mencoba membantu Golly mengubur semua kenyataan pahit itu. Jangkrik, belalang, dan binatang lainnya ikut merasakan apa yang Golly rasakan. Angin puncak mempunyai cara tersendiri untuk menghibur kesedihan hati Golly.

Selasa, 10 Maret 2009

Lulus Dalam Pendadaran

Hujan rintik-rintik menyelimuti kota Bandung pagi ini. Dari semalam hujan turun tiada henti sampai paginya pun hujan semakin deras. Tetapi ternyata sekitar jam 10 matahari tampak dan panas menyergap seolah-olah tak pernah terjadi hujan sebelumnya. Memang penglihatan dimanapun terlihat terang dan segar. Lapangan basket yang masih terlihat basah terguyur hujan, daun hijau dan bunga yang baru saja mekar menghiasi sekeliling sekolahku.

Hari Jumat hari pendek. Pulang sekolah aku mampir ke sebuah mini-market untuk membeli sabun dan pasta gigi. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan Dimas yang mendarat di pundakku.

”Hai Neshia, ngeborong niye? Siap-siap lho shia, kamu akan ditinggal pacarmu.” Katanya sambil cengengesan.

”Mau ditinggal kemana, mas?” tanyaku.

”Tunggu aja tanggal mainnya!” Jawab Dimas dan langsung pergi dengan motornya.

Aku adalah anak yang bisa dibilang berasal dari keluarga yang berada. Ayahku bekerja di bidang politik di kotaku. Tapi meskipun begitu aku tak mau teman-teman menjauhiku hanya karna status yang aku punya, ataupun mereka mau berteman denganku tapi gara-gara statusku. Oleh karna itu aku berusaha untuk selalu berbuat baik terhadap teman-temanku.

Dimas. Dia adalah teman akrab Marwa, pacarku. Mereka sudah berteman sejak SMP. Sampai sekarang menurut cerita teman-temannya yang sudah aku kenal, Marwa dan Dimas dijuluki kutu buku oleh lainnya. Sukanya main ke perpustakaan dan kalau udah baca sesuatu pasti betah sampe berjam-jam.

Marwa datang ke rumahku yang kata anak-anak muda jaman sekarang istilahnya wakuncar, yang pasti pada saat malam libur saja. Begitu juga kalau dia tahu jika aku mau ulangan, pasti ia tak pernah menunjukkan keberadaanya jika aku belum selesai. Katanya takut kalau ganggu. Dulu aku kenal Marwa karena pertemuan yang tidak disengaja. Ayahnya adalah teman kerja ayahku. Makanya, hubungan keluarga kami sangatlah akrab. Marwa itu anaknya pintar, baik, dan taat pada Agama. Disamping itu Marwa sangat perhatian padaku. Mengenai sekolahku ataupun lainnya. Dan aku selalu diajak maen keluar dengan seijin ibuku tentunya.

”Nes, kamu itu beruntung banget lho, sayang. Meskipun kamu gak punya kakak, tapi Marwa itu perhatian sama kamu. Memang dasarnya anak itu pinter dan kelakuannya baik.” Kata ibu padaku. Tapi aku Cuma diam saja. Batinku membenarkan apa yang dikatakan oleh ibuku tadi.

Sabtu malam minggu Marwa datang membawa seseorang yang sebelumnya belum pernah ku kenal. Waktu itu Marwa juga membawa sebuah pot yang berisi bunga mawar putih. Bunga itu memang menjadi bunga kesukaanku. Setelah bertemu dengan Ayah dan Ibuku seperti biasanya, aku langsung keluar menemuinya.

Marwa berkata, ”Neshia, kenalkan ini temanku.” Aku dan temannya Marwa bersalaman. Neshia-Agis.

”Kok bawa mawar putih, kang?” Tanyaku.

”Iya. Kalo tak kasih pasti adek gak mau ngrawat kan?” Marwa serius.

”Ya mau lah, kang... itu kan bunga favoritku.”

”Tapi nanti pindah ke tanah aja ya, kalau di pot kan terbatas tempat.”

”Gimana? Apa perlu dipindahin sekarang. Biar akang yang nanem, jadi Neshia Cuma nyirami dan ngrawat aja.” Marwa menawarkan.

”Terserah deh, aku ngikut aja.” Jawabku.

Aku dan Marwa langsung menuju halaman sebelah kanan rumahku. Setelah mencari-cari mana tempat yang cocok, Agis mengikuti kami. Marwa berkata, ”Disaksikan sama Agis ya, Sha. Ini sebagai pengingat-ingat Neshia punya tugas buat ngejagain ini sambil nunggu aku pulang nanti dari tugas demi masa depan diri sendiri.”

Aku kaget dengan apa yang baru saja Marwa ucapka. ”Emanya kamu mau pergi ke mana?”

”Neshia, ini sudah menjadi keputusan dari sekolah. Kalau aku ikut terpilih terkirim ke Australia diantara 9 anak termasuk Dimas. Dipilih anak yang pintar buat pertukaran pelajar yang juga akan dikirim ke Indonesia. Neshia harusnya seneng. Bukan begitu?” Marwa menatapku tajam.

Aku mengangguk dan langsung teringat oleh omongan Dimas waktu ketemu di mini-market dulu, kalau aku mau ditinggal Marwa.

”Kamu gak usah kuatir, shia. Nanti biar Agis yang bantu kamu kalau kesulitan belajar. Dia sanggup kok.”

Benar, setelah sebulan Marwa dan teman-teman lainya berangkat dikirim ke negara kanguru untuk keperluan tugas belajar. Sewaktu pertama ditinggal Marwa, rasanya sangat berat. Tapi Marwa paling tidak seminggu sekali pasti telfon atau sekedar sms. yang pasti diberi jarak biar gak keseringan. Soale dia kalo takut ganggu.

Aku melamun dan setelah sadar terlihat gelasku sudah terisi penuh meluber membanjiri tempat di sekelilingnya. Mungkin aku teringat Marwa. Aku tahu tak seharusnya aku bersikap terus-terusan seperti ini. Ibuku menyarankan agar aku menyiasati ini semua dengan memperbanyak kegiatanku. Kebetulan sekarang Kak Agis sering datang ke rumah. Awalnya aku merasa malu juga dperhatiin Agis. Tapi saking seringnya dia maen ke rumah, rasa sungkan itu hilang. Malah kalau dua hari aja dia gak datang bisa-bisa dia malah menjadi orang yang kuharap-harapkan banget kedatangannya.

Agis masih kuliah. Tapi ia juga kerja sambilan menjadi guru les anak-anak SD gitu. Yah...lumayan deh buat nambahin uang jajan. Biasanya juga aku diajak jalan-jalan keluar sama dia. Nonton bioskop, makan, atau sekedar window-shopping aja. Persis kalau Marwa ngajak aku. Suatu ketika aku dan Agis sedang jalan-jalan di sebuah mall.

”Liat deh shia. Bagus gak? Kalau kamu suka yang mana?”

”Wah, jelas suka semuanya atuh. Bagus semua kok.” Jawabku

”Pilih aja dek, salah satu tak beliin deh,” Dia menawari

”Hehe..kapan-kapan aja. Itu kan pasti harganya mahal. Nanti aja kalau uangmu udah banyak.” Agis terlihat kecewa mendengar jawabanku seperti itu. Tapi gak papa lah. Bisa-bisa nanti aku dibilang cewek matre. Buatku harga diri itu melebihi segalanya. Aku kan cewek dan dia cowok. Iya kalau pemberiannya itu tulus. Kalau ada Pamrih? Itu yang selalu aku ingat-ingat.

Tahun baru di Bandung. Udah pasti mah jalanan Bandung macet, berisik, dan aaaarrrgghh....pokoknya rame pisan lah. Tadi tuh kayaknya sebelum Magrib langit Bandung udah mendung tanda mo’ ujan. tapi gak tau deh. Gak jadi. Aku keluar rumah jam setengah tujuh malam. Dan melihat jalanan dago sangatlah ramai sesak sama mobil plat B! . Awalnya aku ma Agis mau ke pusat kota ngrayain taun baru gitu. Yeah, pas nyampe pintu keluar area perumahan, aku belok aja ke sumur Bandung. Macet. Well, akupun jalan lagi menuju daerah sukajadi lewat tamansari. Ternyata macet juga. Kayaknya waktuku habis terbuang buat muter-muter Bandung aja deh.

Pas udah nyampe tempat tujuan, disana orang-orang udah pada ngumpul dan jumlahnya buanyak banget. Agis menggenggam erat tanganku. Seperti gak mau kehilangan aku aja. Rasa-rasanya aku sudah seperti pergi sama Marwa. Aku selalu ditawari apa aja kalau aku pengen sesuatu. Tapi aku pasti selalu jawab tidak. Pas mau pulang, Agis membeli sesuatu, katanya buat oleh-oleh Ayah-Ibu, yang pastinya Beliau belum tidur karena menunggu kedatanganku.

Nyampe rumah rasanya badanku seudah pegel semua. Tapi kenapa mau masuk halaman rumah mesin motor Agis dimatikan. ” Turun dulu Nes. aku mau ngomong bentar.” kata Agis.

”Kalau mau ngobrol ya di rumah aja, kan gak enak kalau diliat tetangga.”

Agis diam dan langsung mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam jok motornya.

”Neshia, ini buat kamu. Tapi nanti aja bukanya di kamar kalau aku udah pulang. Kalau kamu gak suka bisa dituker.”

”Wah, kok malah ngrepoti sih, kang?”

” Enggak kok. Itu kemauanku.”

Sebelum mengetuk pintu, Agis berbalik kepadaku sambil berbisik, ”Ini salah satu acara taun baruan yang paling menyenangkan Makasih ya udah mau nemenin. Aku suka kamu. Met bobok....”

Bukan main kagetnya aku. Tapi itu semua langsung hilang ketika Ibuku sudah membukakan pintu. Agis langsung memberikan bungkusan yang dibelinya tadi dan berkata, ”Langsung saja bu, sudah malam”

Aku pun terburu-buru masuk untuk membuka apa yang diberikan Agis tadi. Ternyata sebuah jam tangan mahal. Dan dibawahnya tertulis ”Kalau tidak suka masih bisa ditukar.”

Tidak, aku tetap setia pada Marwa. Dalam hati aku berpikir bahwa tak mungkin kalau tidak ada pamrih. Aku berniat untuk menegembalikannya. Karena aku sudah ada yang punya meskipun belum mutlak. Aku tak mau menyakiti hatinya. Orang yang kusayayangi. Kalau aku terima, pasti dia meminta yang lebih dari itu. Barang itu akan segera ku kembalikan. Bagaimanapun caranya. Meskipun aku sudah bersiap tidur, merangkul guling, dan berselimut rapat-rapat, aku belum bisa tidur mikirin apa yang terjadi padaku tadi. Aku berniat untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun.

Tiga hari kemudian. Sore ketika aku baru menyirami bunga mawar putihku yang sekarang sudah jadi besar dan mulai berbunga Agis datang. Aku mengetahui kedatangannya tapi aku pura-pura tidak mengetahui. Akhirnya dia mendekatiku dan bertanya, ” Berkebun ya dek? Wah, mawarnya udah gede ya?”

”Iya tak jaga terus kok, seperti pesan yang ngasih. Silakan masuk, aku bersih-bersih dulu.” Aku masuk kamar untuk mengambil barang yang akan ku kembalikan. Aku bergegas keluar.

”Maaf, aku kembalikan. Aku gak bisa nerima ini.”

Agis hanya memandangku diam. Dan dimasukkannya kotak itu kedalam saku jaketnya. Setelah itu, hatiku tersa lega, tak ada lagi beban moral.

***

Tak terasa sudah setahun lamanya Marwa sekolah di luar negeri. Aku sudah rindu berat ingin bertatap muka lagi dengan dia. Ketika aku pulang sekolah, belum sempat aku berganti pakaian Ayah menghampiriku.

”Ada kabar baik untukmu.”

”Kabar baik apa,yah?”

”Neshia, nanti tanggal 23, jadi seminggu lagi Marwa pulang ke tanah air. Gantian sama temannya yang juga dikirim ke sana. Tadi Ayah dapat kabar dari ayahnya. Sepertinya hanya itu informasi yang Ayah terima. Paling-paling kalau sudah dekat tanggal Marwa akan kasih kabar kamu.”

Pastinya aku bahagia mendengar kabar itu. Tapi mikirin juga sih apa yang akan ku katakan selama aku ditinggal Marwa. Ah...lebih baik katakan apa adanya. Jujur. Semuanya akan ku ceritakan pada Marwa. Juga tentang Jam tangan mahal pemberian Agis yang ku kembalikan. Gimana tentang perkataan Agis kalau dia menyukaiku? Bilang...Enggak...Bilang...Enggak...? Ah, lebih baik cerita aja. Toh itu bukan kemauanku. Pokoknya jujur. Kalo seumpama Marwa marah, ya sudah...terserah....

Hari yang ku nantikan tiba. Aku sudah bersiap diri untuk menjemput Marwa di Bandara. Ternyata Agis juga menyambut Marwa disana. Ketika Marwa sudah berhadapan langsung dengan kami, ia langsung menyalami orang tuanya dan berkata kepada Agis, ”Terima kasih sudah menjaga adikku, apa balesanku?”

”Sama-sama, wa.”

Jelas aku bingung dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua sahabat itu. Entahlah....

Beberapa hari kemudian, Marwa datang ke rumahku. Aku yang sedang berada di depan langsung menyambutnya. Setelah itu aku dan Marwa menuju halaman dimana bunga mawar putih yan diberikan Marwa berada.

”Mawarnya cantik ya, kayak yang punya.” kata Marwa memulai percakapan.

”Yang punya kan kamu, wa...” Aku menjawab

”Tapi kan sudah ku pasrahkan semua padamu. Coba shia ceritakan apapun yang terjadi selama ku tinggal.”

Aku langsung menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Masalah Marwa marah, urusan nanti. Memang kenyataannya seperti itu. Setelah selesai bercerita, Marwa bertanya “Sebetulnya Neshia suka gak sama jam tangan yang di berikan itu?”

Aku menjawab jujur, ”Aku ya suka, Wa, seumpama barang itu pemberian kamu.”

Marwa langsung mengeluarkan sebuah kotak sembari berkata, ”Kalau suka ya...ini..silakan.”

Setelah ku buka, ”Eh..lho. Gimana ini Wa?”

”Gak usah bingung, shia. Agis itu sebetulnya kakakku. Kakak sepupu. Selama aku pergi aku ingin Agis menjagamu,melindungi selayaknya pacar, ku suruh membelikan apapun yang kamu inginkan. Tapi aku minta Agis tak mengaku kalau aku yang nyuruh dia. E...ya syukur deh. Neshia tidak tergiur ataupun terpengaruh oleh semua itu. Dan tetap setia sama Marwa. Berarti Neshia lulus dalam pendadaran. Aku tambah mantep punya Neshia.”

Aku tak bisa menahan rasa tawaku. Aku sangat bahagia banget deh pokoknya.

~Terima kasih~

Senyuman Cinta Pertama


”Jat, cepetan dikit dong! Mau pulang nggak?” teriak Bobby dari kejauhan kepadaku. Aku yang ketika itu berada di antara cewek – cewek cantik tersentak kaget. Kenapa dia memanggilku Jat. Padahal kan sudah kubilang untuk memanggilku miko saja. Di samping mutunya jauh lebih tinggi, tingkat keserasian nama dengan muka setara pula. Tapi sudahlah, teman baikku yang ini memang aku beri dispensasi untuk boleh memanggil aku Jat. Hanya untuk sekadar mengingatkan bahwa nanti kalau aku sudah jadi orang top tidak lupa kalau aku punya nama depan Jat.

Namaku Jatmiko. Biasanya sih dipanggil miko. Tapi teman – teman lebih suka memanggilku Jat. Sebenarnya aku tidak begitu suka dipanggil Jat, soalnya kesannya seperti aku ini orang bejat. Entah apa yang ada di benak mereka. Coba bayangkan jika ada temanku yang memanggil aku dari kejauhan dan saat itu aku berada di antara cewek – cewek cantik. Ah, betapa malunya aku. Berapa lapis selotip nanti yang harus kutempelkan di mukaku. Ratusan? Lebih.

Ketika matahari memancarkan sinar putihnya dan orang – orang sudah sibuk sekali dengan segala tetek bengeknya, aku baru saja bangun. Lagi – lagi nanti aku harus telat pergi ke sekolah seperti hari – hari biasanya. Sebenarnya aku sudah bosan dengan rutinitasku yang seperti ini. Dorongan dari cita – citaku yang ingin jadi orang top membawaku untuk berubah. Aku akan bangun lebih pagi. Aku akan memulainya mungkin bulan depan karena aku butuh waktu untuk belajar dan yang terpenting memberikan perpisahan yang manis untuk bangun siangku yang selama ini telah menemani hari – hariku.

Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Memang, pagi ini tak seperti biasanya. Lebih cerah dan secerah hatiku saat ini. Mungkin ini hari baikku. Entah apa yang nanti akan kutemui, kudapatkan, kualami. Masih jadi tanda tanya yang tanggung. Aku melintasi lorong sekolah yang lengang dan sepi. Sesepi kuburan di malam hari hentakan kakiku seolah memecahkan keheningan di semua penjuru. Suara angin yang berhembus pun seolah menari melenggang merayakan kemenagannya mempermalukan suasana sepi. Hening. Tapi ini kan masih pagi, horor sekali pikiranku. Bukan, ini sudah siang dan aku telat lagi. Aku pun berlari tungggang langgang layaknya seorang atlit lari yang berlaga diperhelatan akbar, seperti olimpiade. Yang ada di pikiranku hanya lari dan terus berlari. Dengan penuh dukungan dan semarak gegap gempita dari para penonton yang menghiasi stadion membuatku menggebu – gebu membakar semangat. Kecepatan lariku pun tak terbendung. Hingga pada akhirnya aku menabrak sesuatu yang tiba – tiba saja ada di depanku.

Guuuuubraaaaaaaaaaaakkk....

Cewek. Kaget. Panik.

”Maaf – maaf, aku nggak sengaja. Aku buru – buru. Udah telat nih.”mohonku kepada cewek itu.

Cewek itu pun hanya menganggukkan kepalanya. Entah dia memaafkan aku atau tidak, tapi masa bodoh. Aku pun langsung melesat menuju ke kelas meninggalkannya. Tertegun, terkejut, tersentak setelah aku berada di depan kelas melihat pemandangan di dalamnya. Ternyata di sana suasana sudah lengang, hening, dan sepi. Seperti acara pemakaman saja. Penuh haru dan tangis di mana – mana. Rasa kehilangan akan orang yang dicintai dan disayangi menyelimuti seiap pelayat yang datang mengantarkan kepergian di peristirahatan terakhir. Suasana kelas yang sepi dan hening ini ternyata disebabkan oleh sosok seorang bapak – bapak yang berdiri dengan angkuhnya di depan kelas. Pak Basirin . Dengan perawakan tubuh yang besar yang mungkin lebih pantas menjadi algojo ini memiliki dua mata hitam yang di tumpangi alis menjulur ke atas. Sosok ini tak pernah aku harapkan sekali pun ada dalam hidupku.

Aku dengan wajah lemas dan pasrah masuk menuju kelas. Pasti aku akan dihukum habis – habisan seperti biasanya.

”Kamu jam segini baru masuk ke mana saja?”, tanya Pak Basirin padaku dengan raut wajah yang sedikit aneh. Biasnya kalau dia marah dia memasang mata melotot. Tapi ini lain. Wajahnya sedikit dihiasi dengan senyuman. Aku tak kaget. Mungkin ini penyakit tua yang sering dialami para guru – guru galak. Penyakit bosan ngamuk.

”Sudah. Sana ke tempat dudukmu dan lekas ikuti pelajaranku dengan tertib.”

Namun, aku yang masih ragu – ragu dengan sikap pak Basirin hari ini segera saja menuruti perintahnya. Mimpi apa aku semalam samapai – sampai telat hingga jam segini tak terkena hukuman. Mungkin ini salah satu tanda kalau hari ini adalah hari baikku.

Pikiranku tak konsen lagi mengenai pelajaran setelah tiba – tiba aku teringat akan cewek yang kurobohkan dengan tubuhku tadi pagi. Sepertinya aku pernah mengenalnya. Namun di mana aku belum tahu. Aku tadi memang hanya melihatnya sepintas. Namun ada sesuatu yang langsung melekat pada diriku saat terjadi pertemuan singkat itu. Apa ini yang dinamakan dengan cinta pada tabrakan pertama. Tak mungkin. Aku kan sudah punya kekasih. Tania namanya. Aku sangat mencintai dia dengan setulus hati. Aku bangga memilikinya dan berjanji untuk setia selalu menemaninya. Dia pun mencintai aku apa adanya. Kami saling menyayangi.

Hiruk – pikuk suara anak – anak sekolah yang baru pulang melintasi pintu gerbang menghiasi siang ini. Jalanan yang tadinya agak sepi kini ditumpahi oleh ratusan anak sekolah. Akhir pekan yang menyenangkan. Aku dan Bobby berjalan menuju sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Di sana kami sudah dinanti oleh dua orang cewek. Aku dan Bobby memang pulang agak telat karena ada urusan sebentar di sekolah. Jadi aku meminta pada para cewek itu pergi ke kafe duluan daripada menungguku di sekolah. Ternyata kami sudah dinanti di kafe. Tania yang sudah menungguku dari tadi mengomeliku.

” Dari mana aja sih? Lama banget. Males tahu nungguinnya.” omelnya.

” Kan aku udah sms kalo ada urusan bentar di kelas. Maafin aku ya, sayang.”

” Ya udahlah. Nggak pa – pa.”

Kami pun mulai mengobrol saling bertukar hal yang kami alami selama seminggu. Layaknya sepasang merpati yang sedang dilanda asmara, kami begitu menikmati setiap momen tiap kami bertemu. Hingga aku pun melupakan Bobby yang ternyata juga sudah asyik mengobrol dengan Mora di bagian sudut kafe.

Tania memang segalanya bagiku. Dialah yang selama ini mendukungku di saat aku berjuang, menghiburku di saat aku sedih, dan mengingatkanku untuk tak sombong di saat aku menang. Aku hanya bisa membalasnya dengan cintaku. Setidaknya itulah yang bisa aku berikan untuknya selama ini. Enam malam bulan purnama telah menghiasi hubungan kami. Memang ini belum ada apa – apanya. Umur hubungan kami memang masih sebesar biji jagung. Tapi meskipun begitu aku sangat bahagia bersamanya. Kegembiraanku tak bisa kuungkapkan dengan kata – kata saat ini. Setelah kami puas kami pun pulang. Aku mengantarkan Tania hingga ke rumahnya. Bobby yang masih ingin menghabiskan waktunya bersama Mora masih berada di kafe.

Aku pulang dengan perasaan senang dan hati lega karena hari ini aku bisa mengobati rasa kangenku pada Tania. Setelah satu minggu kami tak saling bertemu berbincang karena kesibukan masing – masing. Saat ini aku memang duduk di bangku kelas sembilan dan aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional pada akhir tahun pelajaran nanti. Mengikuti les ke sana ke mari sudah kujadikan awal usahaku. Terkadang aku memang agak jenuh hidup satu dunia dengan rutinitasku ini. Dan aku butuh pemberi semangat, pemberi aku sesuatu yang beda. Maka untuk itulah aku memiliki Tania.

”Bob, kemarin lusa aku nabrak cewek waktu lari gara – gara telat. Emang sie nggak ada yang dirugikan, malah diuntungkan tapi aku kok masih penasaran ya ma cewek itu. Rasa – rasanya aku pernah ngelihat tu cewek. Tapi di mana ya?” curhatku pada Bob di pagi yang agak mendung ini.

”Emang yang mana orangnya?”

”Cantik, rambutnya lurus, matanya agak sipit tapi bukan orang cina soalnya kulitnya kuning kecoklat – coklatan, hidungnya nggak terlalu mancung, bibirnya tipis sexy, trus body-nya langsing berisi.”

”Weeeleeeeh...kamu ini. Detail amat deskripsinya. Trus siapa namanya? Anak kelas berapa?” tanya Bob penuh antusias

”Aku ya nggak tahu dong. Bego banget sie kamu. Ni aku baru mau nanya ma kamu. Kamu tahu nggak cewek yang kusebutin ciri – cirine tadi? Bob, aku nafsu banget ni pengen ketemu lagi ma itu cewek”

”Ah, kamu ini. Denger ya, Jat. Kalo tu cewek emang jodoh ma kamu pasti kalian berdua ditemuin lagi. Tapi buat apa sie? Mau kamu gebet?lha Tania mau kamu taruh di mana?” sindir Bobby.

”Emang kunci ditaruh – taruh? Ya nggak segitunya lah. Pikiranmu itu terlalu jauh. Aku masih sayang kok sama The Tania My Sweetheart.”

”wekekekeh...nada bicaramu itu lho sok puitis. Udahlah, gurunya dah mau dateng itu lho.”

Suara bel sekolah tanda istirahat sudah berbunyi memecahkan semua konsentrasi siswa yang sedang belajar. Tak lama kemudian setelah bel berbunyi, hanya terpaut sepersekian detik sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat berbagai macam segala bentuk makanan dikeroyok secara masal dan beringas. Tak tanggung – tanggung demi mencukupi kebutuhan perut mereka rela mendesak – desakkan diri di antara mereka. Saling ingin mencapai satu tujuan yang sama. Makan.

Di lain pihak, ada dua orang anak manusia. Laki – laki semua. Yang satu gantengnya terbukti dan yang satu agak pas – pasan. Itulah Jatmiko dan Bobby. Mereka sedang menderapkan langkah menuju ke sebuah ruangan. Ke sebuah ruangan di salah satu gedung sekolah ini yang berisi berbagai macam bentuk manusia yang tersaji dalam pria dan wanita dan terkreasi dengan bebeapa tipe wajah yang berbeda. Di sana terdapat banyak meja beserta berjuta – juta tumpukan kertas yang berada di tiap atasnya. Ruang guru.

Begitu ramai ruangan itu hingga suara ketukan pintu dariku tak terdengar. Aku pun langsung saja masuk ke dalam. Sudah capek jariku yang lentik ini mengetuk pintu. Kutemui Pak Basirin untuk mengumpulkan tugas yang telah dia berikan.

”Tumben ngumpulin tepat waktu? Sebelum waktu imsaknya lagi. Kamu nggak lagi sakit kan, Mik?” sindir Si Basirin. Aku hanya meringis. Dalam benakku berkecamuk. Diem napa, Bawel amat.

Toh, itu tugas juga berkat bantuan dari Tania. Makanya, selesainya cepat. Tania memang pahlawanku. Ai lof yu banget deh buat Tania.

Aku dan Bobby melewati koridor Sekolah dekat Ruang Guru. Ketika kami sedang ngobrol sambil jalan tiba – tiba kami berpapasan dengan dua orang cewek. Sepertinya aku mengenali salah satu dari mereka. Ketika aku baru tersadar kalau salah satu cewek yang tadi melewati aku dan Bobby ternyata cewek yang kutabrak kemarin, mereka sudah jauh berada di belakang berjalan jauh membelakangi aku dan Bobby. Aku pun lemas dan kecewa sebab aku sudah mengimpi – impikan bisa melihat wajahnya yang lucu itu. Namun, tiba – tiba ketika aku menoleh ke belakang melihatnya sekali lagi, dia pun ternyata melakukan hal yang sama. Oh, tidak. Ingatanku pun berputar membuka memori tujuh tahun lalu.

***

Langit biru ditemani gumpalan awan putih yang menari – nari di angkasa. Selalu gembira karena sang matahari masih bersemangat memancarkan sinar segarnya ke bumi. Hari masih agak siang karena dipaksa oleh sang waktu yang berjalan agak lambat melewati tiap detiknya. Suasana di Madrasah kini mulai ramai bersamaan dengan pulangnya para murid santri penerus tongkat estafet kaum muslim di negara ini. Merekalah penerus bangsa. Aku yang berada di antara para murid itu terdiam sejenak. Terpana seolah melihat sesosok hantu yang besarnya bukan main. Namun ini lain. Aku seperti melihat bidadari yang baru mendarat di bumi. Pandanganku yang mengarah kepada seorang gadis kecil berkerudung merah tak bisa kupalingkan ke arah mana pun meski hanya sedetik. Aku begitu heboh melihatnya. Wajah gadis itu putih bersinar mengalahkan mentari. Sungguh luar biasa ketika sejenak saja aku melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Bayang senyuman itu akan selalu kuingat. Gadis kecil itu memakai baju muslim berwarna merah dilengkapi dengan kerudung yang berwarna merah pula. Kerudung itu menghiasi wajahnya sehingga tampak sekali aura solehah yang melekat pada dirinya. Entah apa yang aku rasakan. Jantungku bergenderang sangat cepat. Aliran darahku terpompa secara otomatis. Hembusan nafasku tak bisa kukontrol. Gila. Pikirkanku runyam. Apa aku suka padanya? Tak mungkin. Aku masih tujuh tahun. Tapi kalau ini benar, dialah cinta pertamaku. Senyumannya tak kan pernah bisa kulupakan. Senyuman cinta pertama. Tapi aku tak pernah berani melakukan hal lebih dari memandangnya dari jauh. Aku malu.

***

”Ooww, yang waktu itu kita ketemu di koridor? Namanya kalau tidak salah Nisa. Kenapa?” tanya Bobby setelah menjawab pertannyaanku.

”Ini seperti de ja vu, Bob. Itu cewek yang aku maksud. Akhirnya, kutemukan yang kucari.”

“Emang kamu abis nyari apaan? Gopek? Gak usah dicari, ni tak kasih aja,” ejek si Bobby.

“Setan….”

“Habisnya, kamu itu ngoceh sendiri kayak orang sedeng. Emangnya kenapa ama cewek itu?”

”Dia itu yang aku ceritain ma kamu tempo hari kemarin. Usahain nomor teleponnya dong?” pintaku kepada Bobby dengan tampang agak melas.

”Iya. Ntar aku usahain,” sahutnya. Lega perasaanku setelah Bobby meng-iya-kan permintaanku. Bobby memang begitu orangnya. Dia baik hati dan suka menolong. Apalagi kalau menolong aku, sepertinya dia sangat hobi.

Seminggu berselang, akhirnya nomor handphone Nisa bisa kudapatkan. Betapa bahagianya diriku saat ini. Ingin segera rasanya aku berkenalan dengannya, mengenalnya lebih dekat, dan biarkanlah semuanya berlalu. Luapan kegiranganku memang seperti orang gila. Tapi harus bagaimana, memang kenyataan inilah yang sedang aku rasakan. Baru mendapatkan nomor telponnya saja sudah seperti orang gila, bagaimana kalau sudah kenal, lalu seterusnya, dan seterusnya.

Dua minggu aku pedekate dengannya, sudah banyak yang bisa kudapatkan. Tanggal lahirnya, zodiaknya, makanan favoritnya, warna kesukaannya, pokoknya banyak deh. Semua orang tak perlu heran. Itulah aku. JatMIKO. Aku pun kini sering saling berkomunikasi dengannya. Tukar cerita, curhat, bercanda ke sana ke mari hingga tak tentu arah. Namun semua itu hanya berani aku lakukan dalam sms saja. Aku belum bisa memberanikan diri bertemu langsung dengannya. Malu. Namun lambat laung akhirnya aku dan Nisa berencana untuk bertemu di sebuah supermarket.

Pertemuan yang kunantikan itu pun akhirnya terjadi. Aku benar – benar gugup berada di depannya saat ini. Sendi – sendi tulangku seakan lumpuh tak mampu berfungsi akibat getaran yang hebat dari tulangku. Tidak. Ini terlalu hiperbol. Kuhirup nafas dalam – dalam dan mulai menyapanya.

”Hai, apa kabar?” tanyaku basa – basi.

” Baik,” jawabnya. Nisa menjawabnya dengan lemah lembut. Oh, tidak. Seperti tertembak butiran kain sutra aku mendengarkan suaranya yang indah itu. Kami pun melanjutkannya dengan saling mengobrol, bercerita banyak mengenai diri kami masing – masing. Akrab sekali aku dan dia. Kadang – kadang di tengah perbincangan kami, dia mengembangkan senyuman mempesonanya seperti saat tujuh tahun yang lalu itu, senyuman yang indah dan penuh pesona. Sampai sekarang pun aku masih melihat senyuman itu. Aku tergila – gila padanya. Dia membuatku lupa akan segalanya.

Setahun berlalu....

Kini aku sudah berada di kelas sepuluh. Nisa adalah cinta pertamaku. Kutemukan dirinya waktu aku masih kecil. Meskipun aku masih kecil, tapi pada waktu itu aku yakin kalau aku dan dia adalah satu. Dan kini sudah kudapatkan senyuman cinta pertamaku. Cinta pertama adalah cinta sejatiku. Aku menyayanginya. Aku mencintai Nisa.

Setahun yang lalu....

Kutemui Tania di kafe biasa kami memadu kasih. Kafe itu hari ini memang sepi. Seakan memang telah dipersiapkan untuk kita berdua. Tania sudah menungguku di sebuah meja tempat biasa kami duduk berdua, tempat biasa kami saling memandang, saling menyayangi, dan mencintai. Namun semua itu sudah cukup.

”Ada apa, Mik? Tumben ngajak ketemuan,” tanya Tania dengan penuh senyum. Namun senyumannya tak kubalas sedikit pun.

” Tan, aku bahagia banget bisa milikin kamu. Kamu adalah harta yang pernah kumiliki yang terindah, yang berharga, dan yang akan selalu akan kujaga. Aku selalu menyayangimu di setiap hembus nafasku. Tapi itu dulu, Tan.”

” Maksud kamu apa sih, Mik? Ada apa ini?” kutemukan air mata Tania mulai mencair.

” Jujur, Tan. Aku selingkuh. Kamu nggak perlu ngelabrak dia dan marahin dia karena bukan dia yang salah. Aku. Aku yang salah. Tapi semua itu aku lakuin dengan sadar diri. Aku memang mencintainya. Aku ngerasa kita udah nggak cocok. Maaf, aku udah khianatin kamu. Aku nggak bisa nepatin janjiku untuk terus bisa nemenin kamu. Aku nggak bisa ngebuktiin kalau aku setia ma kamu. Sampai jumpa, Tan.”

Seiring dengan kepergianku saat itu juga, kudengar isak tangis Tania membahana mengiringi derap langkahku yang pergi meninggalkan tempat itu. Namaku JATMIKO.